A: “Yogie, kok ayah lihat kamu gak daftar kuliah? Mau kuliah gak sih?”
Y: “Sengaja, Yah. Kan sudah Yogie bilang mau konsen di band.”
A: “Terus nanti anak istri kamu mau di kasih makan apa? Ayah yang
kuliah dan kerjanya jelas saja banting tulang kok buat biayain keluarga
ini.”
Y: “Enggak ah. Aku sudah yakin kok, doain saja biar berhasil. Pasti bisa kok, anak band juga banyak yang kaya.”
A: “Halah mimpimu itu terlalu gila. Itu yang pada bikin band juga
ujung-ujungnya gagal, mau nambah daftar orang yang gagal sama band-nya?”
Y: xxxxxx
Ya, mungkin sebagian dari kamu pernah mendengar atau bahkan mengalami
sendiri sepenggal perdebatan seperti ilustrasi di atas. Perbantahan
tentang mimpi dan cita-cita dengan orang lain adalah sesuatu yang lumrah
terjadi. Sebagai nahkoda kehidupan, kamu sebetulnya sudah tahu kemana
kapal akan berlayar. Sayangnya dalam perjalanan, ada banyak ‘navigasi’
tambahan yang membuat kita harus memperjuangkan arah yang diyakini
benar.
Mungkin kamu adalah anak dari seorang dokter sukses yang memang sejak
kecil digadang-gadang untuk menggantikan ayahmu kelak. Berbagai kursus
yang berurusan dengan ilmu eksak juga telah orangtuamu persiapkan.
Mereka mengharapkan jika kelak kamu bisa menekuni profesi yang sama.
Mengobati orang dan meneruskan klinik yang dibangun sebelumnya.
Tapi kamu memelihara angan-angan yang jauh lebih ‘liar’. Daripada
harus bergulat dengan penyakit orang, kamu lebih suka membayangkan
menjadi pianis kelas dunia. Membuat pertunjukkan music klasik di The House Of Opera adalah
salah satu misi gila yang ingin kamu wujudkan sesegera
mungkin. Perbenturan pun terjadi. Kamu mulai resah dengan segala mimpi
yang telah diyakini.
Setiap orang berhak punya cita-cita yang tak biasa. Kamu hanya harus
gigih merawat mimpi, meski orang lain menganggap keinginanmu terlalu
gila.